Aliansi PKTA Tuntut Penghentian Kekerasan terhadap Anak, Soroti Kematian Pelajar dalam Aksi 29 Agustus

JAKARTA – Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (Aliansi PKTA) mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera menghentikan narasi yang menormalisasi kekerasan dalam penanganan aksi demonstrasi. Aliansi ini menyoroti kasus dugaan kekerasan aparat terhadap pelajar, yang memuncak dengan kematian seorang remaja berusia 16 tahun, Andika Lutfi Falah.

Baca Juga : Kaesang Sebut Upaya Adu Domba di Media Sosial: Bantah Keras Narasi yang Benturkan Prabowo dan Jokowi

Dalam keterangan tertulisnya, Aliansi PKTA menuntut Presiden menginstruksikan seluruh jajaran pemerintahan—baik pusat maupun daerah—serta Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk menjamin hak-hak anak dalam menyatakan pendapat, berkumpul, dan memastikan keselamatan mereka.

Aksi ini muncul setelah laporan penangkapan dan penahanan terhadap ratusan pelajar di berbagai kota, termasuk Jakarta, Semarang, Bandung, DIY, Makassar, dan Palu. Laporan tersebut juga mencakup dugaan kekerasan dan ketiadaan akses pendampingan hukum.

Pada Jumat, 29 Agustus 2025, Andika Lutfi Falah, seorang pelajar dari Tangerang, dilaporkan meninggal dunia setelah mengikuti aksi. Ia mengalami luka berat di kepala yang diduga akibat kekerasan aparat. Kasus lain yang disoroti adalah penangkapan paksa terhadap sejumlah pelajar, termasuk anak penyandang disabilitas, di Semarang. Mereka baru dibebaskan pada Minggu, 31 Agustus 2025.

“Penangkapan anak dalam konteks demonstrasi tentu menimbulkan pertanyaan penting mengenai sejauh mana aparat kepolisian berwenang melakukan tindakan tersebut,” ujar Aliansi PKTA.

Melanggar Aturan dan Prinsip Perlindungan Anak
Aliansi PKTA menekankan bahwa tindakan kekerasan dan penahanan sewenang-wenang terhadap anak bertentangan dengan sejumlah peraturan dan konvensi yang telah diratifikasi oleh Indonesia, antara lain:

Konvensi Hak-hak Anak (CRC): Indonesia telah meratifikasi Konvensi ini melalui Keputusan Presiden No. 36/1990, yang mewajibkan perlindungan anak dalam menyampaikan aspirasinya.

UU 35/2024 tentang Perlindungan Anak: Undang-undang ini secara tegas melarang kekerasan dan diskriminasi terhadap anak.

UU 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA): UU ini mewajibkan pendampingan hukum dan pendekatan keadilan restoratif pada setiap tahap proses hukum yang melibatkan anak.

Konvensi Anti Penyiksaan: Indonesia telah meratifikasi Konvensi ini melalui UU 5/1998, yang secara mutlak melarang penyiksaan.

Aliansi PKTA menegaskan, “Perlindungan terhadap hak-hak anak harus menjadi prioritas utama, mengingat mereka merupakan kelompok rentan dan membutuhkan pendekatan serta pendampingan hukum yang memadai.”

Tuntutan dan Rekomendasi Aliansi PKTA
Sebagai solusi, Aliansi PKTA mendesak agar anak-anak yang ditahan segera dikembalikan ke keluarga, sekolah, atau lingkungan aman lainnya. Mereka juga menuntut Polri melakukan investigasi independen, imparsial, dan transparan atas dugaan penyiksaan terhadap anak yang terjadi antara 25 hingga 31 Agustus 2025.

Selain itu, Aliansi PKTA meminta Polri untuk:

Menghentikan praktik pemeriksaan tanpa pendampingan hukum.

Menempatkan anak sebagai korban, bukan pelaku kriminal.

Memastikan adanya ruang bagi organisasi masyarakat sipil untuk memantau, mendampingi, dan melaporkan kasus tanpa adanya intimidasi.

Menata ulang tata kelola pengamanan aksi dengan perspektif perlindungan anak, responsif gender, dan inklusif.

Tuntutan ini menyoroti perlunya perubahan fundamental dalam cara aparat penegak hukum berinteraksi dengan anak-anak dalam situasi publik. Mereka harus diperlakukan sebagai kelompok rentan yang membutuhkan perlindungan khusus, bukan sebagai ancaman yang harus ditangani dengan kekerasan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *