Jakarta – Anak-anak yang memiliki Cerdas Istimewa dan Berbakat Istimewa (CIBI) sering kali menarik perhatian dengan kemampuan intelektual yang jauh melampaui usia mereka. Namun, di balik potensi jenius yang menakjubkan ini, terdapat kompleksitas psikologis yang sering diabaikan: kerentanan emosi yang tinggi.
Baca Juga : Fenomena Judi Slot Online dan Bahaya Istilah “Maxwin”
Kasus ini tecermin dari kisah Aiden (10 tahun), seorang anak dengan potensi IQ 167. Di usia yang masih belia, Aiden memiliki kemampuan penalaran yang tajam, daya ingat yang fantastis, bahkan mampu mempertanyakan isu-isu kritis dan tabu.
Lompatan Kemampuan yang Mengejutkan
Diana (40), ibunda Aiden, berbagi kisah tentang bagaimana kecerdasan anaknya muncul dengan cara yang tidak terduga.
Awalnya, perjalanan Aiden tidaklah mulus. Ia sempat mengalami keterlambatan berbicara (speech delay) pada usia dua tahun. “Waktu itu dokter tumbuh kembang anak bilang, anak saya memang speech delay,” kenang Diana.
Namun, fase ‘keterlambatan’ itu tiba-tiba terpecahkan oleh lompatan kemampuan yang drastis.
Membaca Tanpa Mengeja di Usia TK: Saat Aiden mulai memasuki Taman Kanak-kanak (TK) pada usia tiga tahun, guru-gurunya terkejut. Aiden tiba-tiba mampu membaca secara lancar, bahkan tanpa proses mengeja yang lazimnya dialami anak seusianya. Diana dan suaminya sendiri terkejut karena merasa belum pernah mengajarkan Aiden membaca sama sekali.
Menguasai Isi Ensiklopedia: Saat menginjak usia enam tahun, kemampuan ingatan Aiden kembali mengejutkan. Ia disebut mampu menguasai seluruh isi buku ensiklopedia tentang hewan yang diberikan orang tuanya. Kemampuan menghafal dan mengolah informasi ini merupakan ciri khas dari kecerdasan istimewa.
Mengapa Jenius Rentan Emosi?
Meskipun artikel ini menyoroti kecerdasan Aiden, para ahli psikologi anak menegaskan bahwa anak CIBI, seperti Aiden, seringkali menunjukkan ketidakselarasan antara perkembangan kognitif dan emosional. Fenomena ini dikenal sebagai asinkroni perkembangan.
Beberapa alasan mengapa anak cerdas istimewa rentan terhadap masalah emosi:
Ketidaksesuaian Intelektual dan Lingkungan: Pikiran mereka bergerak terlalu cepat dibandingkan teman sebaya atau bahkan lingkungannya. Hal ini sering menimbulkan rasa bosan, frustrasi, atau merasa terisolasi karena kesulitan mencari teman yang memiliki kedalaman berpikir setara.
Sensitivitas Emosi (Overexcitabilities): Banyak anak CIBI memiliki intensitas emosi yang tinggi (emotional overexcitability). Mereka bisa merasakan kegembiraan atau kesedihan secara jauh lebih mendalam, membuat mereka lebih rentan terhadap stres, depresi, atau kecemasan.
Kritisisme Diri yang Tinggi: Karena kemampuan penalaran yang tajam, mereka cenderung menjadi sangat kritis terhadap diri sendiri dan orang lain, menetapkan standar yang tidak realistis. Kegagalan kecil bisa memicu reaksi emosional yang besar.
Keterampilan Sosial yang Belum Matang: Meski jenius secara akademik, mereka mungkin kesulitan dalam interaksi sosial sederhana atau memahami isyarat sosial, yang selanjutnya menambah rasa kesepian dan frustrasi.
Tantangan Bagi Orang Tua
Kisah Aiden menjadi pengingat bagi orang tua bahwa mengasuh anak CIBI membutuhkan pendekatan yang seimbang—tidak hanya fokus pada pengayaan intelektual, tetapi juga pada kesejahteraan emosional. Mendukung anak jenius berarti mengakui dan memvalidasi perasaan intens mereka, mengajarkan strategi mengatasi stres, dan membantu mereka menavigasi dunia sosial yang seringkali terasa ‘lambat’ bagi pikiran mereka yang cepat.
