Bamsoet Soroti Putusan MK soal Pemilu: Babak Baru Demokrasi Elektoral Indonesia

Bamsoet Soroti Putusan MK – Anggota Komisi III DPR RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet), menilai bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 telah membuka babak baru dalam demokrasi elektoral Indonesia. Ia menyatakan bahwa putusan tersebut secara fundamental mengubah skema pemilu serentak yang berlaku sejak 2019.

Baca Juga : Kesempatan Emas: Daftar Sekolah Swasta Gratis di Jakarta untuk Keluarga Kurang Mampu

Dalam kesempatan memberikan kuliah di mata kuliah ‘Pembaharuan Hukum Nasional’, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur, pada Sabtu (5/7/2025), Bamsoet menjelaskan implikasi putusan MK tersebut. Pemerintah akan tetap menyelenggarakan pemilu nasional secara serentak pada 2029. Pemilu ini meliputi pemilihan presiden, DPR, dan DPD. Namun, berbeda dari sebelumnya, pemerintah akan menggeser pemilihan kepala daerah dan anggota DPRD. Pelaksanaannya dilakukan paling cepat dua tahun setelah pemilu nasional. Atau paling lama 2,5 tahun kemudian, yaitu pada tahun 2031. Artinya, pemerintah tidak lagi menerapkan skema pemilu serentak total pada Pemilu 2029.

Bamsoet Soroti Putusan MK Respons MK terhadap Gugatan “Keserentakan” Pemilu

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menggugat frasa ‘pemungutan suara dilaksanakan secara serentak’ dalam Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu, dan Mahkamah Konstitusi meresponsnya dengan mengeluarkan putusan ini.

MK mengabulkan gugatan tersebut dan menyatakan bahwa frasa ‘serentak’ tidak berarti penyelenggara wajib menggelar seluruh pemilihan pada hari yang sama. MK juga menekankan bahwa penyelenggara pemilu harus mengutamakan efisiensi dan rasionalitas, tanpa mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat serta hak pilih yang dijamin konstitusi. Putusan ini menunjukkan bahwa MK mempertimbangkan secara mendalam beban masif penyelenggaraan pemilu dan dampaknya.

Rekayasa Konstitusional: Langkah DPR dan Pemerintah

Bamsoet menegaskan bahwa putusan MK ini bersifat final dan mengikat. DPR, pemerintah, dan partai politik tidak memiliki ruang untuk menolaknya. Ia menyatakan bahwa pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang harus segera bertindak. Mereka perlu melakukan rekayasa konstitusional atau constitutional engineering. Tujuannya adalah memastikan sistem pemilu yang baru berjalan efektif, efisien, dan tetap demokratis,” ujar Ketua MPR ke-15 ini.

Ia mengusulkan agar MPR, DPR, dan Pemerintah menjalankan dua langkah strategis berikut:

Jika negara memerlukan payung hukum konstitusional yang lebih tegas untuk memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah, MPR dapat melakukan amandemen terbatas terhadap UUD NRI 1945. Amandemen ini tidak harus mengubah banyak hal, tetapi cukup menyesuaikan norma-norma pasal terkait kedaulatan rakyat, sistem pemilu, dan masa jabatan.

Pemerintah dan DPR dapat menerapkan prinsip hukum transisi dengan merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Mereka juga perlu merevisi UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Langkah ini dianggap sebagai opsi paling realistis dalam waktu dekat. Revisi tersebut akan mengatur ulang jadwal pemungutan suara secara menyeluruh. Selain itu, revisi juga mencakup masa jabatan anggota DPRD. Pemerintah juga akan mengatur masa transisi antara berakhirnya jabatan DPRD dan kepala daerah. Transisi ini berkaitan dengan Pilkada 2024 yang akan digelar bersamaan dengan Pilkada selanjutnya pada 2031.

“Sehingga pemisahan rezim pemilu dan rezim pilkada terlaksana dengan baik. Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menjelaskan bahwa pemerintah akan mengembalikan periodesasi pilkada dan pemilihan anggota DPRD masing-masing menjadi 5 tahun, sesuai ketentuan dalam UUD 1945.

Tantangan Masa Transisi dan Prinsip Keadilan

Bamsoet juga menguraikan bahwa isu masa jabatan menjadi tantangan tersendiri. Jika pilkada baru akan digelar pada 2031, sementara masa jabatan DPRD dan kepala daerah hasil Pemilu 2024 akan berakhir pada 2029, maka diperlukan mekanisme transisi. Mekanisme ini bisa berupa perpanjangan masa jabatan hingga 2031 atau penunjukan penjabat (Pj).

Menurutnya, hal ini bukan hal baru dalam sejarah demokrasi Indonesia. Sebagai contoh, pemerintah menyeragamkan pilkada pada 2024 sehingga mempercepat berakhirnya masa jabatan kepala daerah hasil Pilkada 2017–2018. Pemerintah kemudian menggantikan mereka dengan penjabat kepala daerah hingga Pilkada serentak berikutnya.

Bamsoet menegaskan bahwa prinsip dasarnya adalah semua pihak harus terlindungi, baik dari sisi hak politik warga negara, kepastian hukum bagi penyelenggara dan peserta pemilu, maupun keberlanjutan roda pemerintahan. Karena itu, ia mendorong DPR dan pemerintah untuk merumuskan ulang desain pemilu secara cepat, terbuka, dan partisipatif, agar hasilnya tidak memicu konflik baru di kemudian hari.

Bamsoet menambahkan, meskipun putusan MK bersifat final dan mengikat, pelaksanaannya tetap membutuhkan instrumen hukum turunan yang memadai. Di sinilah pentingnya komitmen politik nasional yang solid. Ia menutup dengan penekanan bahwa demokrasi bukan hanya soal memilih pemimpin, tetapi juga tentang merancang sistem yang adil, masuk akal, dan memberi ruang bagi rakyat untuk benar-benar berdaulat.

“Indonesia kini menghadapi momentum penting untuk mengevaluasi kembali sistem pemilu yang terlalu padat dan kompleks. Skema dua gelombang pemilu mungkin bisa menjadi solusi moderat, asal dirancang dengan baik. Lebih dari itu, ini merupakan kesempatan emas untuk memperbaiki kualitas demokrasi secara menyeluruh agar lebih berdaya, manusiawi, dan konstitusional,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *