JAKARTA – Transplantasi ginjal merupakan prosedur penyelamat nyawa dan harapan utama bagi ribuan pasien gagal ginjal kronis di Indonesia. Namun, keberhasilan operasi hanyalah babak awal. Tantangan terbesar pasca-transplantasi adalah komitmen seumur hidup untuk mengonsumsi obat imunosupresan, yang berfungsi menekan sistem kekebalan tubuh agar tidak menyerang dan menolak organ baru. Bagi pasien, obat ini adalah harga mati untuk mempertahankan “kehidupan kedua” mereka.
Sayangnya, komitmen kritis ini kini dihadapkan pada dilema serius di Indonesia menyusul perubahan kebijakan penjaminan obat oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Perubahan Kebijakan dan Kekhawatiran Pasien
Inti dari permasalahan ini adalah pergantian jenis obat takrolimus yang ditanggung BPJS Kesehatan sejak pertengahan tahun 2024. Takrolimus adalah salah satu agen imunosupresan terpenting.
Sebelumnya, BPJS menanggung obat originator (obat paten). Namun, berdasarkan kebijakan baru, BPJS Kesehatan kini hanya menanggung takrolimus jenis non-originator (obat generik/biosimilar), sementara obat originator tidak lagi dicakup.
Pergantian ini menuai kekhawatiran besar di kalangan pasien dan komunitas medis. Alasan utama kekhawatiran ini meliputi:
- Risiko Rejeksi Organ: Pasien khawatir pergantian formulasi obat dapat memicu respons sistem imun, yang berujung pada rejeksi atau penolakan organ ginjal.
- Efek Samping: Terdapat laporan peningkatan efek samping setelah beralih ke obat non-originator.
Kasus Nyata: Ancaman pada Stabilitas Kesehatan
Keluhan ini bukan sekadar kekhawatiran teoritis. Seorang pasien perempuan berinisial A dari Jawa Tengah, yang telah menjalani transplantasi ginjal selama delapan tahun, menceritakan dampaknya.
Selama ini, kondisi kesehatan A relatif stabil dengan kadar kreatinin (indikator fungsi ginjal) di bawah batas aman (1,3). Namun, setelah terpaksa beralih ke imunosupresan non-originator, terjadi peningkatan kadar kreatinin yang mengkhawatirkan:
Kreatinin Awal→1,3→1,4→1,5→1,6
Kadar 1,6 pada Agustus 2025 telah melampaui batas aman. Peningkatan ini menjadi sinyal potensi penurunan fungsi ginjal transplantasi.
“Obat ini bukan barang yang bisa diganti seenaknya. Nyawa kami bergantung pada obat ini,” ujar A, menyuarakan keputusasaan dan ketergantungan mutlak pasien pada obat tersebut.
Data Komunitas Memperkuat Kekhawatiran
Dampak buruk pergantian obat ini diperkuat oleh data dari Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI). Berdasarkan survei terhadap 23 pasien transplantasi ginjal:
- 39 persen mengalami peningkatan kadar kreatinin.
- 13 persen mengalami peningkatan kadar kreatinin yang bahkan melampaui batas normal.
- 52 persen dilaporkan mengalami efek samping setelah mengonsumsi imunosupresan non-originator.
Menghadapi kondisi kritis seperti yang dialami A, dokter terpaksa menaikkan dosis obat lain, yaitu methylprednisolone (methylpred), untuk mencoba mengendalikan fungsi ginjal. Namun, solusi ini memicu masalah kesehatan baru, yaitu kenaikan kadar gula darah, menciptakan rantai komplikasi yang membahayakan.
Dengan jumlah pasien transplantasi ginjal di Indonesia tercatat lebih dari 1.500 orang, isu ketersediaan dan penjaminan obat imunosupresan yang stabil dan efektif harus menjadi prioritas utama regulator. Stabilitas kadar obat dalam darah sangat krusial, dan perubahan jenis obat, bahkan antar-merek yang dianggap setara, dapat memberikan variasi bioavailability yang membahayakan kelangsungan hidup organ transplantasi. Keputusan BPJS Kesehatan untuk tidak lagi menanggung obat originator memerlukan kajian mendalam, mempertimbangkan risiko nyawa yang ditanggung pasien.
